
Penulis: Abdul Syukur
Pemilu 2024 menjadi sejarah pilu yang tidak bisa dilupakan oleh pengurus dan kader PPP di seluruh Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Betapa tidak, PPP sebagai partai kawakan yang didirikan para ulama dan menjadi wadah persatuan umat Islam, harus rela keluar dari gelanggang politik nasional di Senayan.
Sebanyak 12 caleg DPR RI PPP yang seharusnya melenggang ke Senayan terpaksa merelakan kursinya dinikmati partai lain, karena perolehan suara PPP tidak mampu menembus ambang batas parliamentary threshold 4%. Ahmad Baedowi, caleg dengan perolehan suara terbanyak ketiga secara nasional yakni 359.189 suara, juga harus pasrah menerima kenyataan pahit. Secara nasional, PPP hanya mampu meraih 3,87%.
Dalam hitungan jam, PPP akan menggelar Muktamar X di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta. Setidaknya ada dua kandidat yang telah mendeklarasikan diri, yakni Plt Ketua Umum Muhammad Mardiono dan Agus Suparmanto. Keduanya sama-sama mengklaim dukungan kuat dari DPW maupun DPC PPP di seluruh wilayah Indonesia.
Kubu Mardiono berpegang pada prinsip bahwa ketua umum PPP harus berasal dari kader tulen yang sudah pernah menjadi pengurus minimal satu periode. Sebaliknya, kubu Agus membawa slogan “perubahan kepemimpinan”, karena menilai Mardiono gagal menyelamatkan PPP dalam Pemilu 2024. Jika kedua kubu sama-sama ngotot tanpa mencari titik temu, kontestasi ini justru berpotensi menimbulkan konflik berkepanjangan yang semakin melemahkan PPP.
PPP, Partai Persatuan Bukan Partai Perpecahan
Di sinilah pentingnya kesadaran seluruh elit, tokoh PPP, ulama, dan muktamirin. Semua harus ingat, PPP adalah Partai Persatuan, bukan Partai Perpecahan. Sudah saatnya kita bergandeng tangan, duduk bersama, dan bermusyawarah mufakat untuk menentukan figur ketua umum yang benar-benar mampu menyatukan, bukan memecah belah.
Hanya dengan menurunkan ego, mengutamakan maslahat jamaah, dan menjunjung tinggi tradisi musyawarah mufakat, PPP akan kembali kuat. Itulah jalan agar partai warisan ulama ini bisa bangkit dan kembali menempati kursinya di Senayan.
Sebaliknya, jika egoisme dibiarkan menguasai, PPP hanya akan semakin tercerai-berai. Umat Islam pun akan semakin kehilangan kepercayaan, menganggap PPP bukan lagi rumah besar umat Islam, melainkan arena konflik yang ditinggalkan penghuninya. Alih-alih menyelamatkan partai, yang terjadi justru eksodus kader dan simpatisan meninggalkan PPP.
PPP harus bangkit. Persatuan adalah harga mati. Karena PPP Partai Persatuan, bukan Partai Perpecahan.