Penulis Fairuz Ziyad
Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional sebagai bentuk penghargaan terhadap peran besar santri dalam sejarah perjuangan dan pembangunan negeri. Santri tidak hanya dikenal sebagai penuntut ilmu agama, tetapi juga sebagai penjaga moral, penggerak perubahan, serta pembawa nilai-nilai kebangsaan yang damai.
Belakangan ini, muncul isu viral terkait tayangan Xpose Uncensored di Trans7 yang dianggap menyinggung kehidupan pesantren dan ulama, khususnya dari Pondok Pesantren Lirboyo. Tayangan tersebut memicu reaksi luas dari masyarakat hingga muncul tagar #BoikotTrans7 di media sosial. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa pesantren masih memiliki tempat istimewa di hati umat, sekaligus menjadi pengingat pentingnya memahami peran pesantren dan santri secara proporsional.
Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tetapi juga pusat pembinaan akhlak dan benteng moral bangsa. Sejak masa perjuangan, para kiai dan santri menjadi garda terdepan dalam mempertahankan kemerdekaan serta menjaga persatuan. Kini, di tengah tantangan modern, santri kembali diuji — bukan dengan senjata, melainkan dengan kemampuan menjaga kehormatan dan kebenaran di tengah derasnya arus informasi.
Santri masa kini harus mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati diri. Di era digital, mereka dituntut untuk cerdas bermedia sosial: tidak mudah terprovokasi, tetap santun, dan konsisten menebarkan narasi positif. Keteladanan dan kebijaksanaan menjadi senjata utama dalam menghadapi berbagai isu yang menimpa pesantren.
Peran santri dalam kehidupan berbangsa bukan hanya membela lembaga pendidikan tempat mereka belajar, tetapi juga menjaga wajah Islam yang damai, toleran, dan mencerdaskan. Dengan ilmu, akhlak, dan semangat cinta tanah air, santri akan terus menjadi cahaya peradaban — penjaga persatuan serta penegak nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.