
Penulis: Munib Abd Muchith (Wk katib PWNU Jateng)
Membaca berita tentang estimasi laba Makan Bergizi Gratis yang disampaikan Ketua Umum PBNU dengan jumlah yang fantastis 135 M perbulan seperti sebuah prolog cerita cerita rakyat, menggambarkan secara singkat tentang kerangka berfikir Pengurus Nahdlatul Ulama kekinian memburu materi, hilangnya sebuah visi dan misi perjuangan para muasis yaitu menghimpun kekuatan untuk pembelaan terhadap warganya.
Program MBG yang menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat, merupakan kebijakan yang debateble di tengah tengah ekonomi dunia mulai tidak stabil, penegakan hukum yang tidak kunjung terurus ( prilaku korup hampir di semua birokrasi), dan bertambahnya angka pengangguran di tengah masyarakat, kendala logistik di daerah terpencil untuk pemenuhan gizi yang benar, serta potensi korupsi dalam pengadaan dan penyelenggaraan program, gugatan di MK tentang sekolah gratis SD/MI SMP/SLTP swasta dan negeri, ini bukti bahwa masih ada persoalan yang lebih penting diurus oleh negara dan NU sebagai sipil sociaty memberi masukan dan pencerahan berdasarkan data dan fakta di banding sekedar menjadi sub distributor MBG
Memang pemerintah mengklaim bahwa MBG akan menciptakan multiplier effect bisa meningkatkan lapangan pekerjaan, pertanian, tetapi jangan lupa di sekolah-sekolah ada warung kecil yang bergantung pada sangu nya anak sekolah, atau jajanan keliling yang rata rata pelakunya orang yang tidak punya pekerjaan di sektor swasta atau ASN semua pelaku ini lebih banyak dari warga NU, Apakah negara rela membunuh lapangan pekerjaan untuk menumbuhkan lapangan pekerjaan yang lain yang masih belum jelas, dan NU akan menjadi Agent pembunuhan ekonomi warganya sendiri
Ketimpangan Sosial
Ketika awal mulai launcing MBG, awalnya ada secercah harapan pada UMKM dan warung warung kecil penyedia sarapan di kantin dan pinggir sekitar sekolah atau pedagang keliling, tetapi harapan itu memudar setelah penulis mencoba browsing program MBG yang menjadi terobosan pemerintah untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, tetapi pupus sudah harapan
Prasyarat untuk dapat menjadi dapur MBG ( pemasok makan/catering) di butuhkan beberapa prasyarat yang tidak mungkin di penuhi oleh masyarakat kecil atau UMKM, di butuhkan pemodal gede, dengan ketentuan yang mengikat dan ketat, masyarakat kecil yang miskin tidak mampu menjadi pelaksana hanya dapat menjadi penonton yang kaya makin kaya yang miskin semakin miskin
Penyelenggaraan program MBG hanya akan menciptakan ketimpangan sosial dan menumbuhkan oligarki baru di tengah kemiskinan, pondok pondok pesantren, sekolah swasta kecil yang jumlah santrinya belum memenuhi kuota dapur MBG sekedar sebagai obyek penyelenggaraan MBG.
Kesimpulan
Pendapat laba 135 M hasil penyelenggaraan MBG hanya sebuah ilustrasi dan imajinasi liar, tetapi sebuah beban berat untuk di pikulnya seperti pengadaan pemenuhan gizinya, alur pendistribusianya, yang harus dipikirkan dan sangat membutuhkan kehati hatian adalah peloporannya.
Penggunaan anggaran negara rentan juga dengan kebijakan politic penguasa, bukan menjadi rahasia lagi bahwa prilaku politikus lebih cenderung saling menjagal menjatuhkan, mencari lengah dan celah kekurangan masing-masing, maka perlunya di tinjau ulang menjadi sub distributor MBG
Makan Bergizi Gratis adalah proyek besar dan program fonemenal, menerima kerja sama penyelenggaraan MBG bentuk dari kepedulian dan sarana ‘ianah terhadap negara, namun jangan sampai mengorbankan wadzifah demi proyek besar tanpa mitigasi, maka hanya akan menjadi resep lezat untuk ketimpangan dan korupsi. Namun, dengan langkah konstruktif dan didukung dengan transparansi, akan mampu mengeliminer resiko.